Sebenarnya kritik erat hubungannya dengan maksud demokrasi, suatu alam bangsa yang menurut keyakinan kebanyakan orang merupakan suatu solusi menuju masyarakat madani(naon deui ieu..). Dan bila kita berbicara tentang demokrasi maka menurut pendapat saya, ini erat ketergantungannya dengan budaya sosial suatu bangsa. Kita (kamu, saya dan bekas pacarmu) bangsa Indonesia pasti merasakan mengapa terasa begitu lambat dan sulitnya memulai suatu alam demokrasi. Pada permulaannya kita dimabukkan oleh angin demokrasi (baru angin lho...) yang mulai merayapi bulu roma bangsa Indonesia, kemudian perlahan mulai terasa datangnya alam demokrasi.
Tapi belum saja demokrasi ini menginjak bumi Indonesia, tanah moyang kita sudah basah oleh darah, rusuh di mana-mana, dari kalangan bawah sampai kalangan elit, sampai-sampai terjadi pembantaian Ulama oleh ninja (kyai kalah geuning ku tinja...) yang katanya merupakan permainan elit politik tapi dengan mengorbankan rakyat, jelas tidak adil. Pertanyaan pertama yang mungkin muncul dibenak kita adalah mengapa ini bisa terjadi (mengapa why..?), apakah sebiadab itu bangsa kita, sehingga saling membantai, ataukah sebegitu kejam manusia Indonesia sehingga selalu mengorbankan rakyatnya.
Kritik mengkritik dan respon merespon yang bertendensi kepentingan dan dendam makin memburamkan udara kesejukan negeri ini, dan semua sembari berteriak reformasi...(reformasi naeuun..!). Tampaknya bangsa ini sedang mengalami musim pancaroba sebelum berubah menuju alam yang diidam-idamkan yaitu demokrasi, tapi bisakah? Benarkah? Bisakah kita menerima alam demokrasi? Benarkah pancaroba ini pertanda menuju demokrasi atau justru menuju alam lain, seperti kehancuran (lain alam atuh ari geus hancur mah!) misalnya..? ...bersambung.
(Ditulis pada tanggal 13 Agustus 2001, jam 15.45)