Wednesday, August 04, 2010

Consciously Creating Capitalism By Steven McAllister

Not too long ago, the European Union pledged to enforce trade restrictions on countries that do not comply with their efforts to reduce their greenhouse gasses and help to prevent climate change and global warming. Many hoped that America would have been the leader in this endeavor and taken the first step toward environmental sustainability. However, our mentality as a nation too often prizes our "freedom" to impose limitations. Especially given the fact that many of America's most prosperous corporate entities will suffer if we seek to protect the environment, it is safe to say that our government will not lead us in this endeavor of global advocacy. So it is up to the individuals, the people upon which this country is based, to step up to the plate and be the change we wish to see in our country and our world.

Instead of waiting for government to mandate that large corporations need to make the changes that will reduce pollution and implement sustainable practices, it is up to us to seek out and educate one another on actionable changes that people can make today which will effect our collective global footprint. One of those changes is the business we engage in and the products we use.

Believe it or not, global corporations are not at fault for our current situation. They are entities which we created to do our bidding and are not the cause of our ecological woes. They are merely one of the avenues through which it has been delivered. We created businesses and we created their policies. Whether the policies are good or bad, they are a construct of mankind's imagination. If they are causing a blight on the future of this planet and polluting the environment, it is our oversight in planning that has caused the devastation, not the business itself.

A business is something we create, and aside from its lack of visual aesthetic beauty, it is a work of art. From the service delivery paradigm to the material production model, businesses are truly fascinating machines that create jobs, wealth, supply, and security. However, they also often create the by-products of servanthood, poverty, need, and pollution. Just as a beautiful painting can elicit hope and delight, it can also elicit longing and despair. However, it is not the painting that is to blame for the emotions it elicits, and it is not the business that is to blame for the part it plays in the human condition. But in each situation, it is the people who are involved who must take responsibility for the action of the creation. Just as art needs both the artist and the witness to be appreciated, each business consists not only of the supplier, but of the consumer as well. And that is where we need to consciously accept our roles.

At this stage in the game, we must look again at the machines that we have created in our gallery of capitalism. We must consider the by-products of the businesses we are using and the products we are consuming. We must weigh the differences between what we truly need and the sacrifices which are being made for us to attain it. It is time for us to be conscious consumers.

Over the last few decades our government, which was once hailed as an entity "Of the People, By the People, and For the People," has become largely reclaimed as an entity "Of the Corporation, By the Corporation, and For the Corporation." We are firmly grounded in the concept of Capitalism and the Free Market so this transfer of power should be of no great surprise. Nevertheless, though an added integer may have been added into the mix, the American people can once again take control of our government. If the government is to be run by corporations, then we must make our votes heard at the cash register.

Given the climate of competition in our society, for almost every product or service that we use, there is an alternative. Additionally, with the rapid growth of green initiatives, we are seeing a great rise in businesses that are providing sustainable alternatives. By changing our buying practices to include more local, fair trade, and eco-conscious businesses, we can make our voices heard as to which way we think our government and our economy should operate.

We are at in an extremely fortuitous situation where information is readily attained should we only have the impetus to look for it. If the European Union can enforce trade restrictions on countries that don't comply with their efforts to reduce their greenhouse gasses and help to prevent climate change and global warming, then the American people can do the same.

In addition to serving as Managing Editor and contributor to Modern Hippie Mag, Steve McAllister is an actor, musician, accomplished author, filmmaker, and the man behind Your Daily Groove. In addition to his books "Descent" and "The Rucksack Letters," his most recent book "The McAllister Code" is a modern day allegory combining science fiction and personal growth.

(Article from ezinearticles.com)

Tuesday, February 23, 2010

PHOBIAKRITIKALISME...!!

Kritik, mungkin satu kata yang bisa membuat orang takut, mungkin kesal, tidak jarang benci hingga dendam, juga bisa membuat orang rendah hati, tahu diri, tidak semena-mena dan mungkin banyak akibat yang lain. Kata ini kerap kali selalu dihubungkan dengan unsur yang ada di Pemerintahan, karena mungkin di sana, tempat yang sangat menentukan kemajuan suatu negara, kritik perlu, bahkan wajib ada sebagai kontrol langkah pemerintah walaupun selama 32 tahun kita belum pernah ada kritik yang tajam dan jelas untuk pemerintahan pada saat sidang umum MPR. Mungkin ada kritik di sana tapi pasti kritik yang menyetujui langkah pemerintah (pan lieur ...).

Sebenarnya kritik erat hubungannya dengan maksud demokrasi, suatu alam bangsa yang menurut keyakinan kebanyakan orang merupakan suatu solusi menuju masyarakat madani(naon deui ieu..). Dan bila kita berbicara tentang demokrasi maka menurut pendapat saya, ini erat ketergantungannya dengan budaya sosial suatu bangsa. Kita (kamu, saya dan bekas pacarmu) bangsa Indonesia pasti merasakan mengapa terasa begitu lambat dan sulitnya memulai suatu alam demokrasi. Pada permulaannya kita dimabukkan oleh angin demokrasi (baru angin lho...) yang mulai merayapi bulu roma bangsa Indonesia, kemudian perlahan mulai terasa datangnya alam demokrasi.

Tapi belum saja demokrasi ini menginjak bumi Indonesia, tanah moyang kita sudah basah oleh darah, rusuh di mana-mana, dari kalangan bawah sampai kalangan elit, sampai-sampai terjadi pembantaian Ulama oleh ninja (kyai kalah geuning ku tinja...) yang katanya merupakan permainan elit politik tapi dengan mengorbankan rakyat, jelas tidak adil. Pertanyaan pertama yang mungkin muncul dibenak kita adalah mengapa ini bisa terjadi (mengapa why..?), apakah sebiadab itu bangsa kita, sehingga saling membantai, ataukah sebegitu kejam manusia Indonesia sehingga selalu mengorbankan rakyatnya.

Kritik mengkritik dan respon merespon yang bertendensi kepentingan dan dendam makin memburamkan udara kesejukan negeri ini, dan semua sembari berteriak reformasi...(reformasi naeuun..!). Tampaknya bangsa ini sedang mengalami musim pancaroba sebelum berubah menuju alam yang diidam-idamkan yaitu demokrasi, tapi bisakah? Benarkah? Bisakah kita menerima alam demokrasi? Benarkah pancaroba ini pertanda menuju demokrasi atau justru menuju alam lain, seperti kehancuran (lain alam atuh ari geus hancur mah!) misalnya..? ...bersambung.
(Ditulis pada tanggal 13 Agustus 2001, jam 15.45)

Sunday, May 20, 2007

FenkTop become The F.L.I.P


Ini adalah suatu usaha. Berubah adalah termasuk hal yang paling menakutkan sehingga butuh suatu usaha yang lumayan keras untuk bisa mencapai sesuatu dengan berubah. Status Quo, ya manusia cenderung untuk mempertahankan status ini karena hal ini dirasakan lebih aman, walau bisa jadi kondisi itu adalah sebenarnya suatu kemunduran belaka. Tapi kalau dilihat dari cerita-cerita kesuksesan atau keberhasilan, semua adalah usaha merubah dari suatu kondisi ke kondisi yang baru, ada suatu pergerakan atau impuls yang diberikan sehingga sesuatu kondisi berubah, dan itu semua untuk suatu kemajuan atau kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut agama pun suatu kaum akan berubah bila memang pengen berubah, bagaimanakah berubah itu? Harus dengan usaha dan juga doa. Dan mudah-mudahn tulisan ini adalah suatu doa..Amiin.

Congratulation The F.L.I.P

Change...Are You Scare of It?


Friday, March 02, 2007

The Story of "L" (part 1)


Kegelisahan suatu keharusan dalam mengarungi hidup yang begitu selalu tidak menentu. Penentuan arah dan pemilihan cara selalu menjadi bagian dari / harus menjadi bagian dari mahluk hidup yang namanya manusia, dan mungkin ini salah satu hal yang membedakan dengan mahluk lain. Dan hal ini selalu menjadi bagian yang paling sulit. Bayangkan bila dalam hidup tidak ada pilihan, tidak ada kegelisahan, mungkin hidup akan lebih monoton dan membosankan, bagaimana tidak, tujuan hidup kita adalah hanya untuk menunggu untuk mati.

Tapi tidak sedikit juga yang akhirnya menyerah terhadap hidup, dan bertanya-tanya untuk apa mereka dilahirkan untuk akhirnya dikecewakan oleh kehidupan. Kenapa harus mereka yang terpilih untuk mempunyai nyawa dari sekian juta sperma yang bertarung memperebutkan posisi di indung telur? Padahal mahluk – mahluk lain ciptaan Tuhan tidak ada yang sanggup untuk menjadi mahluk yang bernama manusia. Mungkin harus menjadi suatu kebanggaan bagi manusia sekaligus malapetaka. Dan orang-orang yang putus asa pun bisa mengambil langkah ekstrem untuk mensudahi penderitaan batin mereka. Nyawa yang dititipkan, mereka kembalikan ke pencipta-Nya.

“Bukan bunda salah mengandung..!”, memang bukan salah siapa pun atau kita tidak harus mencari – cari siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ini, walau kita ada yang dilahirkan memang karena diinginkan dan ada pula yang tidak sengaja harus hadir di bumi yang sudah tua ini. Kita tidak bisa menyalahkan orang tua yang menginginkan keturunan, di sisi lain apakah si anak punya pilihan? Segala sesuatu yang Dia ciptakan atau dihadirkan di alam semesta ini pasti ada maksudnya, termasuk kehadiran kita di muka bumi ini. Masalahnya mungkin segala “maksud” Tuhan ini biasanya tidak selalu mudah untuk didapat atau dimengerti oleh mahluk-Nya. Dia selalu memberi teka teki layaknya “big puzzle” yang harus diselesaikan oleh manusia. Memang hidup selalu menghadirkan pertanyaan yang harus coba dijawab ataupun ditebak. Dan salah seorang temanku bahkan mengistilahkan bahwa hidup adalah perjudian yang paling berat atau “The Great Gambling”, ya memang hidup layaknya bermain judi walaupun bermain judi di dunia nyata tetap dilarang.

Pertanyaan-pertanyaan muncul dalam mengarungi hidup yang selalu menjadi pertanyaan baru, apakah memang hal-hal yang belum terjawab memang sudah direncanakan oleh Tuhan atau yang lebih sering disebut ditakdirkan. Dan kita selalu ditinggalkan lagi untuk menebak. Masa depan adalah hal yang tak pasti atau tidak menentu walau hidup itu sendiri adalah hal yang sangat pasti karena tidak sudah tidak dapat disangkal lagi. Layaknya seorang detektif, masing-masing dari kita harus menemukan petunjuk masing-masing untuk menjalani dan melanjutkan perjalanan hidup, dan ketika kita berhenti mencari petunjuk mungkin itulah awal malapetaka atau mungkin kita sudah merasa putus asa karena tidak juga menemukan jalan keluarnya.

Dalam “The Celestine Prophecy” atau manuskrip Celestine, diisyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi dengan kebetulan itu adalah pertanda yang mengarah ke suatu petunjuk dan akan terus bertemu dengan pertanda yang merupakan petunjuk selanjutnya. Segala sesuatu yang terjadi selalu ada maksudnya khususnya untuk kita, pelaku atau lakon pada kehidupan kita sendiri. Dan disebutkan selanjutnya bahwa kita akan mendapat pertanda tersebut bila kita memang sudah siap menerima petunjuk tersebut. Jadi hal yang wajib kita lakukan adalah bagaimana membuat diri kita siap untuk petunjuk selanjutnya. Permasalahannya apakah kita selalu tahu benar tentang kondisi kita sendiri? Kadang-kadang atau keseringan malah kita kurang yakin tentang kondisi kita sendiri, mungkin itu yang menyebabkan kita sebagai manusia butuh teman atau juga pasangan hidup, yang bisa merefleksikan diri kita atau sebagai cermin yang setidaknya bisa menjelaskan kondisi kita sebenarnya, mungkin.

to be continued...

Tuesday, December 19, 2006

For the last time...


Ini tentang waktu yg terlewat
Ini tentang waktu yg akan terbuang
Dan ini akan selalu tentang waktu yang kita habiskan

Waktu tidak akan pernah menghentikan langkahnya
Atau pun beristirahat sebentar
Waktulah yang membuat jaman
Waktulah yang membuat teknologi

Waktu adalah kesempatan
Kesempatan adalah memanfaatkan waktu
Waktu sebenarnya tidak akan pernah tua
Tapi jamanlah yang menua

Waktu juga berarti harapan
Atau lebih tepatnya harapan yang tersisa
Mengisi waktu juga berari mengisi harapan
Dan juga mewujudkan harapan

Waktu terkadang menjadi ancaman
Karena waktu ternyata ada akhirnya
Sehingga bila lengah memanfaatkannya
Maka hilanglah harapan yg terwujud

Keterbatasan mahluk adalah karena waktu
Waktu yang terbatas

Kini aku tidak ada waktu untuk memikirkan waktu
Aku ingin berlari walau yg sebelumnya merangkak

Thursday, October 05, 2006

The Silence of Patience


Sabar, kata yg sangat sering diucapkan dan terdengar sangatlah merdu
Dalam hampir setiap urusan, kata sabar selalu muncul dan layaknya mengisi tiap nadi kehidupan manusia yg terasa semakin keras saja…
Lajunya kehidupan sering selalu akhirnya memojokkan manusia, sehingga memaksa kata ajaib ini muncul, sabar…
Yah apa mau dikata, kata ini selalu muncul ketika sesuatu hampir mencapai jalan buntu atau mendekati titik keputusasaan…
Tapi sudah pasti kalau sabar adalah sebuah anugerah, atau bisa dibilang suatu fitrah manusia. Layaknya benteng yg kokoh, sabar membendung segala sesuatu yg mengarah ke penghancuran…baik pihak lain maupun diri sendiri
Dan jika sabar itu tidak ada, mungkin agama tidak akan ada dunia ini…
Mungkin jika manusia tidak sabar tidak akan ada ilmu pengetahuan dan teknologi, yang ada pasti adalah suatu penghancuran belaka…
Penantian selalu datang dari suatu pengharapan yg berusaha digenggam, dan sabarlah yg merekatkannya. Bila ia tak hadir maka perlahan namun pasti cengkraman genggam pun akan mengendor dan selanjutnya pasti akan terlepas begitu saja…
Takkan ada yg bisa menghalangi nasib, yg ada mungkin menghindar dari suatu kondisi, yg kebanyakan orang menyebutnya nasib. Tapi apakah itu titik akhir ketika kondisi tersebut disebut nasib. Yah nampaknya tidak ada yang pernah tahu. Karena ada seorang tua, yg berusaha bijak, berkata bahwa dia tidak percaya terhadap nasib, karena manusia lah yg menentukan nasibnya kalau dia mau…
Terkadang kita merasa sangat memiliki kemampuan untuk menghadapi, tapi sering juga akhrinya kita terpental kembali ke sudut keputusasaan…
Tetapi sesungguhnya sabar selalu didorong oleh suatu keyakinan yg besar akan harapannya dan hal itu yang melanggengkan kesabaran tersebut. Seperti salah satu baris syair dari lagu ‘patient’ yg dinyanyikan oleh Gun ‘N Roses, “…if I can’t have you right now, I’ll wait dear…”.
Sabar selalu identik atau lebih tepatnya terhubung dengan kata khusus yg lain, yaitu menunggu. Menunggu harapan tersebut menghampiri suatu kenyataan. Dan kata khusus tersebut adalah menunggu, jelas ini berhubungan juga dengan kata khusus yg lain, bosan…
Permasalahannya lagi, kata sabar sering hanya berkesan untuk sekedar menghibur. Walau sebenarnya sesuatu yg ditunggu itu mungkin tidak akan pernah datang. Dan yg harus dipertanyakan adalah layakkah hal itu harus ditunggu…
Bila ketetapan hati adalah suatu pencarian maka kesabaran adalah senjatanya.

Mungkin sabar seperti sebatang rokok kretek, yg pelan tapi pasti ia akan mencapai batas puntung sesuai isapan rokok yg begitu dalam…

Thursday, September 28, 2006

Trauma...


"Masa lalumu itu
Penjarakan asamu paksa dirimu
Duniamu pojokkan mu paksa dirimu berteriak...!"

Takkan hilang
Takkan bisa menghilang
Bila tersendiri…bantulah aku
Kuingin pulang
Ijinkanlah aku
Tuk kembali…bersamamu

(Hope Good Ramadhan)

Fenk 2006